Musi Rawas,- sumatraraya.com. Program sertifikasi telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), merupakan bagian dari langkah strategis pemerintah yang bertujuan meningkatkan profesionalisme dan kompetensi guru. Langkah strategis ini dilaksanakan dalam bentuk program pendidikan profesi guru atau disingkat PPG. Dari sini peserta akan diberikan sertifikat sebagai syarat untuk diberikannya bantuan yang kemudian disebut tunjangan profesi.
Dengan pemberian tunjangan sertifikasi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan guru agar fokus pada tugas mengajar secara profesional, memiliki keterampilan dan kompetensi memadai untuk mengajar, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran siswa sekaligus berkontribusi pada peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan.
Namun dalam perkembangannya, muncul sejumlah permasalahan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sertifikasi tidak secara langsung meningkatkan kinerja dan tidak selalu berdampak signifikan pada peningkatan prestasi akademik siswa secara nyata.
Hasil riset Asosiasi Riset ilmu Pendidikan mengungkapkan beredar informasi mengenai bahwa guru sertifikasi tidak kompeten dan malas mengajar. Hal ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni beban administratif yang tinggi, kurangnya pelatihan lanjutan, termasuk masalah motivasi diri. Meskipun sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru, beberapa guru justru merasa terbebani dan kinerjanya menurun karena tuntutan administratif yang berlebihan terkait proses sertifikasi yang terlalu birokratis.
Intinya dari sejumlah permasalahan yang dikemukakan diatas, menunjukan belum ada dampak signifikan Sertifikasi Terhadap Kinerja Guru. Untuk memperjelas permasalahan ini, ada baiknya penulis mencoba menerangkan terlebih dahulu apa itu sertifikasi, pengertian dan tujuan, sebagai dasar pijakan tulisan ini!
Pengertian Sertifikasi dan tujuan
Secara bahasa, sertifikasi berasal dari kata Latin "certus facere" yang berarti "membuat sesuatu menjadi aman" atau "memastikan sesuatu". Dari definisi ini, sertifikasi dapatlah disebut sebuah kepastian. Dalam konteks tugas keguruan, sertifikasi adalah seorang guru yang dipastikan telah memiliki kemampuan dan keahlian dibidang keguruan karena telah melalui proses pengujian dan penilaian formal atau uji kompetensi.
Bagi peserta yang lulus seleksi, hasil Penilaian dan ujian kompetensi ini akan diberikan oleh negara berupa sertifikat atau jaminan tertulis sebagai bentuk pengakuan bahwa guru yang telah mengikuti program ini dianggap telah memilki kecakapan dan keahlian sebagai tenaga pendidik dan layak mengajar, sehingga harus diberi upah lebih, sebagai bonus yang kita sebut tunjangan sertifikasi.
Permasalahannya, apa benar dengan mengikuti Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) ini para guru ini betul-betul kompeten dan profesional, lalu dengan kemampuan dan keahlian itu telah membawa pengaruh signifikan terhadap kualitas pendidikan, atau juga telah berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pembelajaran siswa? Bagaimana pula guru sertifikasi mempengaruhi prestasi akademik siswa bila dinilai dari aspek pedagogik, afektif dan psikomotorik? Ini juga menjadi catatan Penting untuk dikaji ulang!
Hasil penelitian menunjukkan, belum ada dampak signifikan pengaruh sertifikasi terhadap kinerja guru. Fakta mengungkapkan dibeberapa daerah ditemukan masih terdapat guru sertifikasi yang masih mengabaikan tugas mengajar. Bahkan terkesan belum layak mengajar, ada kesan kuat tidak kompoten, sehingga wajar bila hasil penelitian sejumlah lembaga mengungkapkan sertifikasi guru belum secara signifikan pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas akademik siswa, bahkan cara kerja mereka tidak jauh berbeda dengan sebelum menjadi guru sertifikasi.
Nah, hemat penulis, permasalahan ini ini dirasa penting untuk diskusikan. Sebab anggaran tunjangan sertifikasi ini cukup besar. Disisi lain kinerja guru sertifikasi hingga saat ini belum menunjukan dampak kemajuan, masih terdapat guru yang telah menerima tunjangan sertifikasi, kompetensi dan keprofesionalitasnya patut kita dipertanyakan! Inilah yang menjadi motivasi penulis mendiskusikan problematika dari program PPG ini.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan akar masalah penyebab tunjangan sertifikasi sehingga belum ada pengaruh signifikan terhadap peningkatan kompetensi guru. Sampai hari ini kinerja guru dinilai memburuk, tidak berbeda dari sebelum mereka diangkat menjadi guru sertifikasi. Bahkan ada kesan kuat menurun. Akibatnya akan berdampak pada kemampuan akademik siswa pun bisa menurun bahkan membusuk yang hari masih dirasakan dampaknya.
Faktanya, masih terdapat siswa yang berasal dari sebuah Sekolah Dasar (SD) dikecamatan STL. Ulu Kabupaten Musi Rawas belum bisa membaca alias buta huruf saat akan masuk sekolah (SMPN) di kecamatan yang sama. Pertanyaan sederhananya, apa yang telah dikerjakan para guru, bukankah mereka telah diberi gaji dan upah besar? Inilah yang menggugah penulis untuk menyampaikan beberapa pandangan agar masalah ini bisa didiskusikan sehingga ditemukan solusi penanganannya.
Sebab, jika permasalahan ini tetap dibiarkan, maka kita tidak dapat membayangkan akan jadi apa nasib pendidikan kita kedepan?² Bagaimana bisa anggaran besar pendidikan ini bisa diberikan dan dinikmati oleh segelintir oknum guru yang tidak kompeten, yang terkesan tak bertanggung jawab, tanpa rasa malu petantang- petenteng tetap menerima gaji dan upah lebih.
Sementara tenaga guru kompeten dan memilki kecakapan sebagai pendidik masih tersisih, termasuk guru honorer yang berdedikasi dan profesional, berpuluh-puluh tahun menjalankan profesi guru, dengan upah minim, namun dengan dedikasi serta semangat juangnya yang tinggi itu dengan ketulusannya
tetap mengabdi tanpa mengenal lelah. Mereka ini nyaris luput dari perhatian pemerintah, apalagi pengakuan resmi negara, hanya karena tak punya koneksi atau orang dalam. Inilah potret pendidikan kita hari ini yang tak ada habisnya untuk diuraiankan disini.
Jadi, dari sederetan permasalahan krusial pendidikan yang penulis ungkapkan diatas, maka penulis berpandangan bawa pemerintah gagal dalam menyelenggarakan program pendidikan termasuk program PPG yang akan menjadi tofik pembahasan tulisan ini. Karena itu kita ingin tahu faktor pemicunya, termasuk upaya yang harus dilakukan, baik oleh seluruh pemangku kebijakan terlebih pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan. Bagaimana jawabannya? simak ulasan berikut!
Faktor Pemicu :
1. Sistem Rekrutmen yang bermasalah
Pemicu utama soal sertifikasi guru ini adalah menurunnya kompetensi dan kinerja guru. Hal ini diawali dari proses rekrutmen yang bermasalah. Seperti proses seleksi yang kurang transparan, tidak akuntabel dan syarat manipulasi. Ada kesan kesan kuat munculnya isu budaya titip menitip pada saat proses seleksi, seperti terjadi manipulasi dokumen serta penilaian yang tidak murni karena lebih mengandalkan "koneksi"atau orang dalam (Paul Suparno dalam KR:15/11/2005:10).
Hasil penelitian menunjukan sejumlah perguruan tinggi diduga telah melakukan praktek kecurangan pada rekrutmen sertifikasi guru. Dengan modus memanipulasi ijazah, termasuk penilaian melalui portofolio yang lemah bahkan sangat terbatas yang dinilai kurang efektif, bahkan tidak sesuai standar (artikel Kemenwdikdasmen).
Dari praktik kotor ini lahirlah lulusan guru sertifikasi yang bermasalah, rendah kompetensi, tak cakap bahkan jauh dari profesionalime. Informasi ini diperjelas dari hasil asesmen nasional yang mengungkapkan masih terdapat guru sertifikasi yang belum menunjukkan kompetensi yang memadai, terutama dalam keterampilan mengajar pedagogik.
2. Motif kesejahteraan (Motif ekonomi) yang berlebihan
Masalah lain yang merupakan bagian dari penyebab kompetensi dan kinerja guru sertifikasi menurun, adalah tuntutan kesejahteraan (motif ekonomi) yang hanya fokus pada kesenangan dunia (Hedonisme) yang berlebihan, bukan meningkatkan kompetensi dan kecakapan.
Sertifikasi seharusnya meningkatkan kualitas dan kompetensi guru, namun dalam praktiknya ada kecenderungan beberapa guru hanya menjadikan tunjangan sertifikasi sebagai tujuan utama. Beberapa guru menjadi malas mengajar setelah menerima tunjangan sertifikasi. Pemicunya tidak lain karena motivasi duniawi atau tunjangan yang berlebihan. Pada situasi ini guru merasa tujuan akhir mereka telah tercapai, sehingga ada kecenderungan mengabaikan tujuan utama dari program sertifikasi.
Hal ini bisa menyebabkan menurunnya motivasi dan semangat profesionalitas seorang guru, sehingga kurang termotivasi untuk mengembangkan diri dan tidak memiliki semangat untuk berbagi ilmu atau pengalaman kepada siswa, bahkan sangat mungkin mereka akan mengabaikan tanggung jawab profesionalitas sebagai pendidik.
Bahkan dorongan atau motivasi kesejahteraan semata ini, terbukti telah mempengaruhi guru sertifikasi hingga perilaku konsumtif, seperti membeli barang, mobil dan fasilitas mewah lain. Dan memang motivasi ini bukan sesuatu yang salah secara mutlak, asalkan tidak menjadi tujuan utama. Tetapi tujuan ini telah mengenyampingkan sasaran utama dari program sertifikasi.
"Dengan kata lain sertifikasi dirancang untuk meningkatkan keprofesionalan guru secara berkelanjutan, bukan sekadar bonus finansial."(artikel Untag Surabaya).
Akibatnya guru sertifikasi cerderung menyerahkan tugas-tugas profesional mereka seperti pemberkasan sertifikasi atau persiapan ujian kepada orang lain karena dinilai memberatkan. Alih-alih meningkatkan kinerja, mereka justru tergoda untuk mengambil jalan pintas, seperti menyontek Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau menyusun Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang sudah jadi. Inilah sejumlah fakta yang membuat masyarakat kita hari ini jengkel dan marah termasuk guru honorer.
Jadi, poin kita adalah para guru sertifikasi ini terkesan mengabaikan tugas karena kinerja mereka tidak berbeda dari sebelum mereka diangkat menjadi guru sertifikasi. Alih-alih meningkatkan kinerja, para guru sertifikasi ini justru lebih sering mengabaikan kewajibannya dan malas dalam menjalankan tugas, bahkan tanpa rasa malu dan bersalah berani mengabaikan saran dan nasehat dari sang kepala sekolah.
Pengalaman penulis, disebuah sekolah menengah atas diwilayah kabupaten Musirawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan, menunjukkan adanya perilaku buruk dari sejumlah guru sertifikasi, seperti mengabaikan tugas, dan malas mengajar. Kinerja mereka tidak berbeda dari sebelum mereka lulus sertifikasi,
menunjukkan tidak ada peningkatan kinerja bahkan cenderung menurun.
Hal ini kemudian dikonfirmasi kepala sekolah, lalu menyarankan agar melaksanakan tugas mengajar dengan sebaik mungkin sebagai guru sertifikasi
karena dinilai tidak profesional, sering melalaikan tugas. Akhirnya melalui otoritasnya, kepala sekolah menyarankan dan mengingatkan mereka. Namun saran dan nasehat yang disampaikan secara berulang itu sama sekali tidak dihiraukan tanpa ada rasa malu dan perasaan bersalah sedikitpun.
Kondisi seperti ini bisa terjadi dibeberapa wilayah daerah lain secara nasional termasuk diwilayah Kabupaten Musi Rawas. Masih terdapat disejumlah sekolah yang ada didalam wilayah daerah ini, seperti SD, SMP termasuk SMA dimana guru sertifikasinya melakukan hal serupa.
Tuntutan administrasi yang berlebihan
Berikutnya yang juga menjadi faktor komptensi dan kinerja guru sertifikasi rendah atau bahkan menurun adalah karena kepatuhan kepada administrasi yang berlebihan. Ini juga dapat mengaburkan tujuan utama dari pembelajaran, dimana guru harus menghabiskan waktu dan energi yang seharusnya dialokasikan untuk tugas pokok sebagai pendidik, tetapi kemudian dialihkan ketuntutan administrasi, bukan ke siswa. Dampak negatifnya motivasi kerja guru jadi menurun, stres, dan terhambatnya proses pendidikan yang seharusnya lebih menekankan proses pembelajaran dikelas.
Tuntutan administrasi yang berlebihan ini juga telah menimbulkan beban tugas yang tidak proporsional karena menimbulkan tumpang tindih tugas, seperti menyusun laporan, mengisi formulir, dan mengelola data siswa. Kepatuhan administrasi yang berlebihan ini, justru mengalihkan fokus dari tugas utama guru.
Selain itu, proses administrasi yang rumit, berbelit, dan tidak efisien juga menambah beban guru, seperti kasus tunjangan profesi yang terlambat cair atau persyaratan administratif yang sulit dipenuhi. Akhirnya guru merasa terbebani dan stres, karena selain mereka dituntut menjadi pendidik, sekaligus petugas administrasi, bahkan mereka juga dituntut harus menguasai berbagai aplikasi yang mungkin dianggap rumit oleh sebagian guru.
Dalam situasi ini, guru seringkali harus berbagi fokus antara mempersiapkan materi pembelajaran yang berkualitas, berlawanan dengan tuntutan administratif, pelatihan, serta workshop yang tidak ada habisnya. Sehingga waktu yang seharusnya untuk mempersiapkan bahan ajar atau materi pelajaran, justru banyak tersita untuk hal-hal teknis.
Kesimpulan dan saran
1. Dari rentetan peristiwa, pengamatan, informasi, analisis dan teori ahli kependidikan, serta sejumlah artikel yang telah dikemukakan, maka penulis berkesimpulan, bahwa Pemerintah dinilai gagal melaksanakan program sertifikasi guru. Hal tersebut dapat ketahui dari rendahnya kompetensi dan profesionalitas guru sertifikasi dan belum ada pengaruh sertifikasi kependidikan terhadap kinerja guru secara signifikan yang telah berdampak pada rendahnya kualitas pembelajaran siswa.
2. Beberapa hal yang menjadi penyebab tidak lain karena sistematika proses administrasi sertifikasi yang terlalu birokratis, hanya fokus pada tujuan formal. Formalitas administrasi yang berlebihan justru akan memberatkan guru sehingga terbebani oleh kesibukan waktu yang dampaknya akan mengabaikan tugas pokok yakni tugas pembelajaran siswa disekolah, termasuk juga motivasi kesejahteraan yang juga dianggap menjadi penghambat. Mengapa? Karena ada kecenderungan para guru sertifikasi menganggap kesejahteraan merupakan tujuan akhir yang telah tercapai, sehingga beralih dari tujuan awal yaitu meningkatkan kompetensi dan kinerja para guru.
3. Saran penulis Pertama, pemerintah harus segera bertindak dan mengkaji ulang proses seleksi sertifikasi. Dengan cara memperbaiki sistem administrasi serta mengevaluasi dari sistem ini secara keseluruhan dan sebisa mungkin melakukan penyederhanaan proses administrasi.
4. Kepada para pihak, terutama kepala sekolah selaku penanggung jawab sekolah sekaligus pengawas, agar melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaan berupa saran, arahan dan teguran bahkan sanksi administrasi terhadap guru sertifikasi yang bermasalah. Jika masih juga mengabaikan, maka wajib para guru sertifikasi yang mungkin belum kompeten dan tidak profesional ini, dilaporkan untuk dilakukan sanksi tegas sesuai ketentuan. Kemudian Pemerintah daerah melalui rekomendasinya ke pemerintah pusat dapat memberikan sanksi yang lebih berat seperti penundaan, pencabutan lisensi atau penurunan pangkat, hingga pemberhentian tanpa hormat karena melakukan pelanggaran berat.( Red)
(* ) Penulis adalah lulusan 1998 Fakultas Ushuluddin UIN Raden Fatah Palembang
Sumber : Disadur dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Permendikbudristek Nomor 19 Tahun 2024,(Permendikbudristek) Nomor 19 Tahun 2024, Beberapa Artikel kependidikan, Pendapat ahli, laporan Informasi, analisis peristiwa dan pengamatan sosial.
